PENGERTIAN HAM ( HAK
ASASI MANUSIA )
HAM / Hak Asasi
Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan
yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai
warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia
tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain
sebagainya.
Melanggar HAM
seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi
manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi
manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih
banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia
ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham
di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju
Belanda dari Indonesia.
Pada hakikatnya “Hak
Asasi Manusia” terdiri atas dua hak dasar yang paling fundamental, ialah hak
persamaan dan hak kebebasan. Dari kedua hak dasar inilah lahir hak-hak asasi
lainnya atau tanpa kedua hak dasar ini, hak asasi manusia lainnya sulit akan
ditegakkan.
Mengingat begitu
pentingnya proses internalisasi pemahaman Hak Asasi Manusia bagi setiap orang
yang hidup bersama dengan orang lainnya, maka suatu pendekatan historis mulai
dari dikenalnya Hak Asasi Manusia sampai dengan perkembangan saat ini perlu
diketahui oleh setiap orang untuk lebih menegaskan keberadaan hak asasi dirinya
dengan hak asasi orang lain.
HAM berlaku secara
universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat
(Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik
Indonesia.
Seperti pada beberapa
pasal dan ayat berikut ini :
· Pasal 27 ayat 1 "Segala warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya"
· Pasal 28 "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang"
· Pasal 29 ayat 2 "Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu"
· Pasal 30 ayat 1 "Tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara"
· Pasal 31 ayat 1 "Tiap-tiap warga negara berhak mendapat
pengajaran"
Sejarah Perkembangan
HAM di Indonesia
Pemahaman Ham di
Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan
acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara garis besar
Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di
Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam
dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode setelah
Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
A. Periode Sebelum
Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
• Boedi Oetomo, dalam
konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya
kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi – petisi yang
dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat
kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib
sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan
yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme
lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu – isu yang
berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk
mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak
kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh
kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu
hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak
berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut
dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI
antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad
Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang
BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan,
hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan
tulisan dan lisan.
B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang
)
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada
periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk
untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat
legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam
hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap HAM pada
periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1
November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan
partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959
dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi
Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat
membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal
atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti
dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode
ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan. Indikatornya
menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin banyak
tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing – masing.
Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati
kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi
berlangsung dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat,
parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat
menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol
yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang
HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang
memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini
sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai
reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini
( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden.
Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran
infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak
asasi masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi
peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan
HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM.
Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM,
pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada
tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya
hak uji materil ( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu
pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad
Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak –
hak Asasi Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an
persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi
dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang
dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap
defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran
barat yang tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin
dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM
sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan
dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini
berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara –
Negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran,
pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat
yang dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi
yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat
melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran
HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di
Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak
memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi
pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap
tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif
pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal
7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta
memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan
HAM.
e) Periode 1998 –
sekarang
Pergantian rezim pemerintahan
pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan
perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian
terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan
dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang –
undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan
dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan
banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan
penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM
pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan
tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan
beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen
konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar 1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ),
Undang – undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang – undangam
lainnya.
Contoh Kasus
Pelanggaran HAM
Modus kekerasan
terhadap anak di Indonesia masuk dalam kategori paling sadis di dunia. Dari
mulai penjualan untuk dijadikan budak seks, sampai kekerasan fisik yang
menyebabkan korban jiwa.
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, kematian bocah 3,5
tahun bernama Indah Sari di Serpong, Tangerang, yang dibakar ibu kandungnya
sendiri, merupakan salah satu buktinya.
"Pelaku tega menyeterika, menyiram dengan air panas, bahkan membakar
hidup-hidup," ujarnya kepadaVIVAnews.com, Senin, 27 September 2010.
Tak cuma itu, Arist membeberkan bahkan ada anak yang digorok ibunya karena
tidak punya uang.
Kekerasan sadistis yang diterima mereka akan membuat kejiwaan anak bermasalah.
Trauma psikologis di masa kecil kemungkinan besar akan memicu mereka membalas
dendam kelak atas apa yang pernah mereka alami.
Data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan sejak Januari hingga September 2010,
ada sebanyak 2.044 kasus kekerasan terhadap anak di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut
lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan 2008.
Pada 2009, jumlah kasus hanya 1.998, setahun sebelumnya mencapai 1.826,
sedangkan pada 2007 sejumlah 1.510. Pada 2007 kekerasan fisik terhadap anak
paling mendominasi. Jumlahnya mencapai 642. Sementara kekerasan seksual
berjumlah 527 dan kekerasan psikis mencapai 341.
Pada 2009, kekerasan seksual balik mendominasi. Angkanya mencapai 705. Hal yang
sama juga terjadi pada 2010. Kekerasan seksual terhadap anak mencapai 592.
Semua kasus tersebut paling banyak terjadi di Jabodetabek.
Arist menambahkan, kekerasan seperti itu terjadi karena himpitan ekonomi. Anak
meminta susu, sementara ibu tidak dapat memenuhi karena tidak ada uang.
Akibatnya, orangtua mengalami depresi luar biasa.
"Anak menjadi korban karena paling tidak berdaya di dalam sebuah komunitas
keluarga," ungkapnya.
Budaya patrialineal juga menjadi faktor penyebab kekerasan seksual. Pria begitu
dominan dan tidak bisa diajak bermusyawarah oleh istri, atau bahkan menganiaya
sang istri. Karena itu, anaklah kemudian menjadi korban penganiayaan.
"Anak menjadi korban pelampiasan amarah sang istri," Arist
menerangkan.
Lingkungan yang kurang berpendidikan juga kerap menjadi pemicu kekerasan.
Yang tragis, sekitar 70 persen pelaku kekerasan terhadap anak adalah ibu, baik
itu ibu kandung, ibu tiri, ibu asuh, ataupun ibu guru di sekolah.
Menurut Arist, kasus kekerasan anak yang jumlahnya tidak sedikit ini mestinya
mulai menjadi keprihatinan nasional.
Penyelesaian Kasus HAM
Hak Asasi Manusia di
miliki sejak dalam kandungan hingga akhir hidupnya. Pada kasus diatas merupakan
tindakan pelanggaran HAM karena orang tua yang tega menyiksa anaknya. Kejadian
ini sudah sangat sering terjadi di Indonesia. Kasus ini di picu
karena orang tua yang belom siap untuk memiliki anak karena masalah ekonomi,
atau mungkin juga kejiwaan yang terganggu dan ini menyebabkan orang tua
melakukan kekerasan terhadap anak. Maka dari itu KOMNAS Perlindungan anak dan
KOMNAS HAM segera menyelesaikan kasus ini agar tidak terjadi hal seperti ini
lagi karena anak merupakan titipan dari tuhan yang harus di jaga dan di rawat
dengan baik dan benar , dengan begitu generasi penerus di Indonesia akan
semakin baik jika mental , kejiwaan dan psikologisnya yang di berikan dari
kecil hingga sekarang sudah baik.